Empat Minggu Karantina
Lebih tepatnya, memasuki minggu kelima karantina.
January and February was bearable despite flaws here and there, but March was hard, embuh banget lah. I thought everything will be better entering the Q2, turns out it’s getting more and more uncertain.
Sabtu tanggal 14 Maret adalah hari terakhir saya bertemu Riris, adik saya. Kami janjian bertemu di Holygyu, Kebon Jeruk (adik saya tinggal di Kebon Jeruk) untuk makan siang bareng. Kemudian kami ke Gandaria City dan menonton film Onwards (yang setengah jam pertamanya saya ketiduran tapi filmnya bagus kok), liat-liat bermacam barang, jajan lucu (lupa jajan apaan), mengobrol panjang lebar berbagai topik mulai dari tentu saja Coronavirus, kerjaan, teman, keluarga, sampai julidin orang sekitar kami. Saat itu mal lumayan sepi sekitar jam 1 siang, tapi selesai menonton film, menjadi sangat ramai. Kami pun berpisah dan pulang ke tempat tinggal masing-masing sekitar jam 4-5 sore. Sudah sebulan sejak saya terakhir bertemu dengan adik saya, padahal kami tinggal di kota yang sama.
Rabu tanggal 17 Maret adalah hari terakhir saya bertemu dengan masbos GC. Kantor saat itu sudah memperbolehkan bekerja dari rumah tapi belum full; yang tidak bisa kerja dari rumah boleh datang ke kantor dan office hours pun dikurangi, hanya dari jam 10.00 sampai jam 15.00. Dua bos masih datang ke kantor bergiliran dan hari itu giliran masbos. Saya datang ke kantor karena internet di rumah mati (woey, FirstMedia!!!). Saat waktunya pulang, saya turun selift bareng masbos dan dia bilang kalau besok dia harus pergi UK antar anak-istri. Embassy udah kasih tau kalau British citizen sebaiknya pulang ke UK segera, sebelum penerbangan dibatasi. Masbos gusar sekali karena habis antar anak-istri dia harus balik lagi ke Jakarta (He’s always emotional about traveling back and forward UK-Indonesia because it’s very exhausting). Sampai sekarang dia masih stay di UK.
Kamis tanggal 18 Maret adalah hari terakhir saya bertemu dengan pak F, bos satu lagi. Hari itu saya kembali datang ke kantor karena internet di rumah masih mati (Fuck you, FirstMedia) dan hari itu adalah giliran pak F masuk. Hari itu teknisi FirstMedia mau datang katanya. Saya dikabari oleh (((landlord))) siang harinya bahwa teknisi sudah datang dan kalau internet masih belum nyala dia minta dikabari. Saya kasih tau aja kalau saya masih di kantor dan akan mengabari sore nanti. Saya pulang jam 4 sore seperti kemarin. Sampai rumah, ternyata internet masih mati. Usut punya usut, internet sempat nyala siang hari, tapi sore mati lagi karena gangguan jaringan di daerah tempat tinggal saya. Terserah elo dah, FirstMedia.
Minggu berikutnya, hari Senin 23 Maret dini hari (waktu Jakarta), masbos mengirim email kepada kami semua bahwa sudah diberlakukan office suspension dan mandatory work-from-home selama dua minggu (sesuai surat edaran gubernur DKI bahwa kegiatan perkantoran dihentikan sampai tgl 5 April); yang tidak bisa kerja dari rumah harus memberi notifikasi pada dia dan pak F. Dia juga berpesan untuk memberikan list workload selama dua minggu tersebut. Saya membalas cuma ke dia doang, dan tak lupa berpesan “Stay safe!”. He also said he’ll be available for queries at certain times. Tidak lama kemudian, pak F menelfon dan menanyakan apakah saya ada masalah bekerja dari rumah, apakah ada issue dari klien (karena ternyata beberapa klien masih kekeuh mengharuskan kehadiran di masa-masa tertentu); saya cuma membalas selama internet tidak bertingkah, I can work from home just fine. Lalu kami membahas workload dan perihal klien-klien yang sejauh ini malah sudah lebih dulu menerapkan full work-from-home.
Tadinya saya kira saya tidak sanggup bekerja dari rumah. Ternyata ya, saya baik-baik saja. Tips dari saya cuma: pisahkan area “rumah” dan area “bekerja”. Jangan bekerja dari atas kasur. I did this the first week and it was horrible. I decided to buy a proper office chair online. It arrived on the weekend, then I thought why don’t I re-arrange the room to make it better. After re-arranging the room, it is indeed better! Tidak lupa pula tetap berkomunikasi dengan teman-teman kantor. Pada akhirnya saya bikin grup whatsapp dengan geng makan siang/julid. Biar berasa kayak ngobrol sewaktu jam kerja. Makan siang masih di jam yang sama kayak di kantor, bedanya saya cuma pergi ke dapur untuk masak/manasin makanan/terima orderan go-food. Jam 2-3 sore masih nyeletuk di grup pengen chatime/fore/dumdum, masih berghibah dan julid dan tentu saja nge-haluin masbos. I try to make it exactly like normal working days. Deliverables sejauh ini masih bisa diatur dan diusahakan sebaik-baiknya on target, namun saya juga bilang ke atasan untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi.
Komunikasi dengan klien, kontraktor, dan bos-bos tetap jalan cuma kenapa ya sepertinya jadi agak melelahkan. I recall I once spent an hour on a phone call with masbos bahas sesuatu yang rasanya waktu itu penting trus berasa lelah banget dan mikir ngapain-sih-bahas-ginian-aja-sampai-sejam. Sama Pak F telfon-telfonan bahas kerjaan bisa lebih dari tiga kali sehari (itu baru sama saya doang, bayangin Pak F jangan-jangan kerjaannya tiap hari cuma telfon-telfonan bahahahah). Klarifikasi VO via Zoom dengan kontraktor itu juga sama melelahkannya, tapi ini masuk akal. Setiap habis klarifikasi VO sama kontraktor sih saya lelah terus, apalagi kalau cuma virtual. Kalau sudah kelelahan ngomong begitu biasanya saya pindah ke kasur rebahan sebentar (30 menit bahahahah nga deng) baru lanjut kerja lagi. Jiwa introvert-ku bergejolak setiap harus berbicara banyak baik di telfon atau di meeting virtual.
Paling sulit itu untuk tidak khawatir pada keluarga saya di Jogja sana. Bapak saya, being the most stubborn person in the family, masih aja pergi ke masjid walaupun sudah ada fatwa MUI bahwa tidak boleh lagi solat berjamaah dan solat Jumat di masjid. Ini saat paling emosional dan menguras energi. Adu argumen, berantem disertai dengan kata-kata yang tidak enak dibaca (soalnya via chat Whatsapp gaesss) terjadi selama dua minggu. Udah tsurhat ke ibu, adek-adek, sepupu-sepupu, tante, uwak, teman kantor, teman kuliah, bahkan sampai ke masbos segala (gua mah apa aja gua tsurhatin ke dia hahahah), sampai akhirnya menyerah. Terserah aja deh. Saya cuma bisa mastiin supaya adek dan ibu ga kenapa-napa gara-gara bapak yang ngiyilan. In the end, he understand what is going on after several people in his shitty whatsapp groups informed that the cases was spread exponentially day by day. Everything I told him two weeks earlier. What a joke.
Ada pula masa-masa gampang kepancing emosi gara-gara berita covid-19 di Indonesia (I stopped seeing them starting last week). Menteri-menteri cangkeman karo cengangas cengenges, jubir podo cangkeman, presiden yang keluyuran padahal ODP, menteri-belagak-presiden sotoy, dan stafsus kementerian goblok. Kesimpulannya ya cuma: sudahlah memangnya bisa mengharapkan apa dari pemerintah, mendingan stay di rumah aja kalau belum mau mati. Harapan saya cuma bapak gubernur yang entah kenapa kali ini lebih tanggap daripada waktu ngurusin banjir.
Hal-hal yang membuat saya tetap waras selama karantina (selain Netflix dan Youtube, ini jelas wajib saya nyalain selama jam kerja biar berasa rame kayak di kantor):
- Chatting sampah dengan geng halu GC (pas hari kerja ini tu wajib banget hahahah).
- Videocall dengan adik-adik (termasuk ibu. Engga, bapak saya ga suka videocall lagipula tiap saya videocall dengan orang rumah bapak saya lagi tidur) dan melihat keponakanku makin bulat dan hobinya sekarang ngoceh, muter-muter, dan joget; makin menggemaskan membuatku ingin pulang (TAPI KAK CORONA).
- Videocall dengan Rise dan Kitin sambil ngegodain si Endog gembulita atau membahas makanan, skincare, relationship, atau cocotan pemerentah.
- Mengisi berbagai macam template bingo dan posting di Instagram.
- Posting sampah memaki-maki kegoblokan stafsus dan membuat sortof diary selama karantina di Twitter.
- Fangirling Niall Horan/Tom Hiddleston/Tom Holland di Twitter dan di Instagram. Anyway, harusnya bulan Oktober ini saya nonton konser Niall Horan di Sydney, Australia tapi konsernya dibatalkan uhuhuhu sedih.
- Menonton live Instagram Niall Horan (sering kelewatan sih tapi ada siaran ulangnya hahahah). Minggu lalu dia live di Instagram sampai 3 jam dari atas kasur!!! Rasanya aku ingin berbaring di sampingnya saja..
- Karaoke-karaokenan di aplikasi WeSing (karena Inul Vista tutup gaesssss) atau sambil FaceTime sama Rise.
- Mengobrol dengan sesama penghuni rumah di dapur sambil masak-masak seadanya. Meskipun seadanya dan gitu-gitu aja, saya berhasil bikin bakwan sendiri (prestasi apa ini). Kemarin kami defrosting kulkas di lantai atas dan ngerapiin isinya. Kurang kerjaan banget emang.
- Jalan kaki di sekitar rumah satu-dua kali seminggu selama 30-45 menit.
- Pergi ke supermarket seminggu sekali. Sampai minggu lalu saya masih ke Pejaten Village tapi anjirrr Hypermart-nya rame bener, jadinya pindah ke yang depan gang deket rumah aja.
- Order Fore atau Chatime atau cemilan apapun via GoFood demi mendukung perekonomian. Kadang juga order makan siang via GoFood.
Begitulah. Kayaknya minggu depan mau coba ikutan baking seperti Rise lalu tau-tau bikin kue ulang tahun sendiri hahahahah, tapi sebelumnya harus pastikan oven di bawah berfungsi.
April is my most favorite month of the year, I don’t want it turns to be the least favorite.
Semoga masa-masa tidak jelas ini cepat berakhir ya, manteman. Stay safe wherever you are.
—
Featured image is taken from The New Yorker instagram.
2 Comments
bener sekali ini, kerja di rumah sebaiknya ada sudut khusus yang digunakan sebagai kantor..
juga soal covid-19 juga, ku juga menghadapi masalah yang sama. aku di sini malah tenang, malah kepikiran mumetnya penanganan covid-19 di Indonesia.. 😩
iyowww. bolehlah ini dilanjutkan kerja dari rumah setelah kelar corona. ga mesti tiap hari sih, paling ga boleh rikues gitu (kalo lagi males ke kantor :p )
rasah melu mikir neng kene, aku mah udah paling bener #dirumahaja.
stay safe di Berlin yo mas, aku gagal sowan taun ini uhuhuhu :((