Sebuah Kenyamanan di dalam Martabak Mie Telur

Sebuah Kenyamanan di dalam Martabak Mie Telur

Sepanjang masa isolasi/karantina ini, sepertinya skill memasak orang-orang mulai meningkat. Banyak di rumah, demi menekan pengeluaran dan meningkatkan imunitas, masak sendiri pasti diutamakan. Tak terkecuali saya (meskipun di saya banyakan kasih-duit-belanja-dan-minta-tolong-masakin-mbak-di-rumah-nya).

Untuk urusan dapur, saya sebetulnya bukan tidak bisa memasak. Bisa, tapi banyakan malasnya. Dari kecil sudah disuruh bantuin ibu di dapur, membuat saya sering mengamati beliau, meskipun yah pada akhirnya skill saya belum secanggih beliau karena saya anaknya ga mau ribet (lagi-lagi maksudnya malas).

Masakan saya berputar-putar di area di mana saya nyaman masaknya dan makannya. Nyaman ini maksudnya: ga menggerutu menyiapkan bahan-bahannya (motong-motong sayur dan bawang itu pekerjaan terapeutic tapi tetep, kalau lagi malas ya malas saja), ga menggerutu memasaknya, ga menggerutu pas makan (Bagi saya, masakan saya selalu enak. Ya kalo ga enak pun tetep harus saya habiskan), dan ga menggerutu pas kelar makan dan membereskan semua peralatan perang. Oleh karena itu, bahan-bahan utama masakan saya ga jauh-jauh dari telur, mie, dan pasta.

Beberapa waktu lalu, di akhir pekan ke-6 dalam karantina, saya memutuskan untuk bikin martabak mie telur.

Keluarga saya, terutama saya dan adik-adik, punya cerita emosional sendiri terhadap (((sebongkah))) martabak mie telur ini.

Alkisah sekitar tahun 2001-2002, ibu saya didiagnosa memiliki miom sebesar telur ayam di dalam rahimnya. Beliau harus dioperasi segera. Beruntung, tempat beliau bekerja adalah Rumah Sakit Khusus Bedah milik dokter bedah ternama di kota tempat saya tinggal waktu itu. Ga pake ba-bi-bu, ibu saya langsung opname di RS tersebut.

Selama ibu saya dirawat, otomatis urusan dapur kacau balau. Siapa lagi yang bisa diharapkan selain saya. Bapak saya? Masak nasi pakai rice cooker saja bahkan sudah diberi petunjuk tulisan dan gambar masih tidak berhasil. Saya lupa ibu dirawat berapa lama, ingetnya sih lama banget lebih dari sebulan, tapi kok rasa-rasanya cuma dua mingguan. Oh ya, setelah operasi pengangkatan miom, ternyata ibu saya hamil lagi (setelah delapan tahun tidak), di usia lebih dari 40 tahun. Rasa-rasanya ibu saya mengalami kondisi kesehatan yang naik-turun dan lagi-lagi perlu dirawat. Kayaknya itu deh yang bikin saya ngerasa tahun terakhir saya di SMP waktu itu banyakan ngurusin rumah dan adik-adik.

Saya jadi bangun paling pagi. Subuh-subuh sudah masak air, masak nasi, dan bikin telur dadar untuk sarapan. Bapak dan adik-adik saya rasanya eneg banget kali ya sama telur dadar pada masa itu but I don’t recall there were complaints came from them. Sesekali bapak saya bawa lauk pulang dari kantor dan besok paginya ya dihangatkan lagi untuk sarapan. Pulang sekolah, beli lauk dan sayur untuk saya dan adik-adik juga, masak nasi lagi, nyuci baju, jemur baju, nyetrika baju seragam saya, adik-adik dan bapak. Bagian nyapu-ngepel, cuci piring, gantian dilakukan dua adik saya itu; tapi kayaknya kok banyakan si Riris yang ngerjain ya.

Telur dadar dan nasi goreng adalah salah dua dari masakan yang sering saya masak untuk adik-adik saya sepanjang absennya kehadiran ibu di rumah saat itu. Lagi-lagi, saya anaknya malas ribet, tapi makan nasi goreng, telur dadar dan mie instan terus-terusan tentu saja membosankan. Adalah om saya dari pihak ibu, yang di beberapa hari pertama ibu saya dirawat diimpor langsung dari Jakarta, datang untuk menemani 3 bocah perempuan di rumah. Dia yang mengajarkan bikin martabak mie telur juga.

It is a comfort food. Ga perlu menggerutu untuk menyiapkan bahan-bahannya karena cuma perlu mie instan, telur, dan minyak/mentega; tambahkan daun bawang atau potongan cabe kalau ada (dan tidak malas). Ga perlu menggerutu juga buat beresin peralatan masaknya karena cuma perlu mangkuk dan sendok/garpu untuk mengaduk semua bahan, panci untuk merebus mie, dan penggorengen untuk menggoreng adonan mie dan telur.

Rasanya? Ya ga akan salah deh; bumbunya kan dari bumbu mie instan. Kalau keasinan tambahin telurnya. Palingan cuma di metode memasaknya aja biar ga gosong, atau jadi hancur waktu dibalik. Ini juga sebetulnya gampil; masak dengan api kecil dan ditutup pake tutup panci (oke nambah deh peralatannya tapi bisa pake tutup aja yg menyerap panas sebetulnya).

Ternyata ya adik-adik saya ga ada yang protes meskipun cuma dikasih lauk martabak mie telur waktu mbaknya sudah kehabisan ide untuk memasak (lagipula saya waktu itu masih SMP hahahah). Mereka malah akhirnya belajar bikin martabak mie telur sendiri.

Begitulah, masakan rumah itu ga perlu sampai yang canggih kayak chef atau ibunda masing-masing. Cukup yang membuatmu tidak banyak menggerutu ketika melakukannya saja. Lagipula kasihan nanti warung Padang ga laku apalagi di waktu-waktu seperti ini.

Gambar dari sini.

1
Fire Away Thirty Two

1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.