Generasi Nunduk
Alkisah di sebuah restoran di Setiabudi, Jakarta Selatan, tujuh muda-mudi sedang berkumpul.
Sebagian piring dan gelas sudah kosong. Ada beberapa piring yang masih berisi segunduk entah itu steak dan kentang goreng atau chicken cordon bleu dan sayuran. Sepertinya tidak ada yang berniat untuk menghabiskannya. Dibiarkan begitu saja sampai diambil pelayan.
Dua laki-laki berkacamata yang duduk di paling ujung meja sepertinya baru saja mengabadikan momen kebersamaan mereka malam itu ke dalam gambar menggunakan ponsel.
Selfie, kalau kata anak masa kini. Salah satunya didaulat untuk mengunggah foto selfie (yang entah keberapa kalinya) itu ke jejaring sosial. Disinyalir, jejaring sosialnya adalah Path. Tidak mungkin Friendster. Apalagi Myspace.
Eh maaf, jayus ya. ((((JAYUS))))
Oke, lanjut.
Lima orang lainnya perempuan semua. Mereka menunggu hasil unggahan dengan tidak sabar. Mata terpaku pada ponsel di tangan masing-masing.
Sesekali salah satu atau salah dua di antaranya berseru “Eh, udah belom sih?”, bergantian.
Diikuti dengan seruan “Buruan, lama amat!”. Pengunggah (I’m trying to use proper bahasa Indonesia here, but is ‘pengunggah’ even a word?) menimpali dengan agak kesal. “Sabar sik. Dikit lagiiii”.
Tak lama si pengunggah berteriak cukup keras dan membuat seisi restoran menengok ke arah gerombolan tersebut. Katanya, “UDAAAHH YEEYY!”.
Disambut dengan seruan yang tak kalah meriah oleh teman-temannya. “Eh udah ya? HOREEEEE”.
Seisi restoran masih memandangi dengan takjub.
Ga deng, saya doang yang memandangi sambil nyeruput teh manis anget.
Selanjutnya yang terjadi adalah hening.
Lima perempuan dan dua laki-laki di meja tersebut sibuk memandangi ponsel. Cukup lama.
Sesekali cekikikan. Sesekali memekik girang. Sesekali terbahak.
Lalu hening lagi.
Salah satu perempuan mengejek teman di sampingnya, dengan mata tak sedikitpun lepas dari ponsel. Tetap memantau komentar yang masuk di jejaring sosial.
Lalu hening lagi.
Cekikikan lagi. Memekik girang lagi. Ejek-ejekan lagi.
Begitu terus sampai saya selesai menyantap bihun goreng ayam saya. Iya, saya kurang distraksi. Tak ada bacaan, ponsel saya baterainya sudah sekarat. Apalagi yang bisa saya nikmati sambil menyantap bihun selain memperhatikan gerombolan yang ada di depan mata saya?
4 Comments
kumpul-kumpul yang mestinya buat ngobrol tatap muka satu sama lain jadi sekedar sarana buat bahan diunggah ke media sosial 😉
iya. esensi ngumpul-ngumpulnya jadi ga dapet ya. padahal, coba kalo sabar sedikit upload dan komen-komennya pas udah pulang atau besok harinya.
ah, kalo baterai ponsel tidak habis, dirimu juga pasti ikut nunduk, kan? =))
aku sekarang mengurangi banget nyentuh ponsel kalo pas kumpul-kumpul. paling kalo pas motret, baru nyentuh ponsel.
untungnya, aku ngga aktif mainan Path. cukup nyampah di Twitter.. =)))
soale aku mangan dewekan, mas.
kalo lagi ramai-ramai sih sebisa mungkin henpon ga kusentuh, kecuali emang mau foto-foto. fotopun baru kuaplot pas udah kelar acara kumpul-kumpul. ✌