The Third Year

The Third Year

Five days ago marked up my third year working with this firm. The longest employment during my career life.

Strange thing: I don’t have the urge to look up for new job at the moment. HAHAHAH. Biasanya, memasuki tahun kedua saya udah cari-cari kerjaan baru lagi dan mulai curi-curi waktu pergi interview.

Apakah ini karena masbos muda yang usianya hanya terpaut 10 tahun dengan saya? Bisa jadi.

Apakah pekerjaannya jadi lebih menyenangkan? TENTU SAJA TIDAK. Kadang ya saya bingung apakah saya benar-benar mencintai pekerjaan ini karena kerjaannya, atau karena gajinya, atau karena lingkungannya, atau karena masnya.

Apakah penghargaannya jadi lebih baik? Engga juga ah, bonus mana bonus. #eh

Mendingan mana kalau dibandingkan dengan jaman sang mantan? Um, well… Both of them have their flaws, and of course strengths. Ga baik ah membanding-bandingkan yang lama dan yang baru terus. Yang penting kan maju ke depan. Moving forward.

Awalnya saya sempat pesimis sama masa depan saya di sini pasca ditinggal mantan. Apalagi ketika project yang sudah saya pegang dua tahun tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera selesai, dan saya tidak kunjung diberi project baru.

Tak dinyana, ada dua personil kantor resign pertengahan tahun lalu, jadi otomatis project mereka diwariskan ke saya. Ditambah satu project baru lagi, lumayan besar. Project pertama masbos sebagai Director. It was an honor.

Awalnya saya pikir mas ini agak susah didekati, soalnya ga kayak mantan yang dikit-dikit keliling nanyain tiap orang lagi ngapain, yang ini mah kalo ga perlu ya ga akan nyamperin. Introvert gitu deh, kalo kata salah satu bapak Associate.

Ternyata ya dia memang introvert. Wah, fellow introvert nih. Apakah kami cocok? Well, I don’t know how he sees me, but I pretty much enjoy speaking with him. I recognised that he listens. He will wait until I finish my sentences, even when I was hesitating. “Go on, I’m listening”. “What’s with the big sigh?”.

Saya akui, dulu sebetulnya saya agak sulit bicara sama si mantan. Padahal dia bisa bahasa Indonesia. Ga ngerti ya, seringnya omongan saya selalu dipotong sebelum selesai. I know he (le ex) tried to not make me worried, but then I felt like he didn’t acknowledge my opinion.

Selain itu, bapak Associate yang lain, sebut saja Bapak F, dipromosikan jadi Director juga. Jadi sekarang kami punya dua Director, Mas GC dan Bapak F. Bapak F sih metode kerjanya mirip sama si mantan, cuma lebih kalem, lebih membimbing, lebih sabar, dan gampang ditsurhatin.

Kalo mas GC lagi aneh dan ngeselin, saya tsurhatnya sama bapak F. Ibaratnya, kalo masbos ga ada, ya cari saran dan solusi ke bapak F. Kadang saya becandanya juga suka kelewatan dan lupa kalau dia sudah jadi Director. Bapak F ini paling hobi lembur. Kalo ada kerjaan sama dia, reviewnya bisa sampe jam setengah 11 malem.

Yang sedih, saya ditinggal teman-teman makan siang saya. Satu per satu resign. Bukan berarti sekarang jadi ga punya teman makan siang sih, jadinya ya ganti teman makan siang aja. Deretan meja saya jadi deretan paling berisik, karena paling jauh dari meja bos-bos. Menjelang jam makan siang, ada aja celetukan-celetukan mulai dari soal kerjaan, politik, sampai segala kehaluan dan kegalauan mengharapkan bonus, halah. Terkadang memang hiburan paling murah itu ya menertawai nasib.

So yes, it’s been good so far. Will I survive another year(s)? Um, not sure, but let’s just hope I will. Will this be my last stop? Maybe yes, maybe not.

1
Tiga Puluh Satu On The Top

1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.